Lasem
Saturday 5 December 2015
Friday 4 December 2015
LASEM
LASEM
NAMA LASEM
Menurut naskah yang ditulis oleh
Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala
dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga
Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan
dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem
berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata
Lao Sam.
Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Merupakan kota
terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.
Lasem Kota paling Unik di Seluruh indonesia
Kenapa Lasem di sebut kota paling unik di indonesia ?.................... = karena lasem adalah sebuah kecamatan yang tidak mempunyai nama yang sama di desanya, dilasem tidak ada desa Lasem ... itulah yang di sebut Kota paling unik ,
Lasem Kota paling Unik di Seluruh indonesia
Kenapa Lasem di sebut kota paling unik di indonesia ?.................... = karena lasem adalah sebuah kecamatan yang tidak mempunyai nama yang sama di desanya, dilasem tidak ada desa Lasem ... itulah yang di sebut Kota paling unik ,
Lasem hanya berbentuk Kecamatan. Kantor Kecamatan terletak di Jalan
Sunan Bonang Km.01 atau Jalan Lasem-Tuban. Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa yang terbagi ke dalam 84 Rukun Warga (RW) dan 219 Rukun Tetangga (RT), dengan ibukota
kecamatan (gedung kecamatan) terletak di desa Soditan.
Adapun desa-desa tersebut adalah:
- Babagan
- Binangun
- Bonang
- Dasun
- Dorokandang
- Gedongmulyo
- Gowak
- Jolotundo
- Kajar
- Karangturi
- Karasgede
- Ngargomulyo
- Ngemplak
- Selopuro
- Sendangsari
- Sendangcoyo
- Soditan
- Sriombo
- Sumbergirang
- Tasiksono
Lasem Di Kenal Sebagai Kota Santri,
Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal
sebagai Kota Santri. Dari peninggalan Makam Sunan Bonang, Pasujudan, Masjid Bonang.
SEKILAS CERITA TENTANG SUNAN BONANG
Disamping peninggalan Sunan Bonang, ada juga Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Banyak ulama-ulama karismatik yg wafat di kota yg terkenal dgn suhu udara yg panas ini. Sebut saja Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro, KH. Baidhowi, KH. Khalil, KH. Maksum, KH. Masduki dll. Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini. Pondok Pesantren tersebut antara lain:
SEKILAS CERITA TENTANG SUNAN BONANG
NAMA LENGKAP SUNAN BONANG ADALAH RADEN MAULANA
MAKDUM IBRAHIM SUNAN BONANG.
Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.
Ketika R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan. Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
Oleh Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari, akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut.
R. Ibrahim mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama Chidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.
Empat hari kemudian Nabi Chidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R. Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning, beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada Allah SWT).
Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.
R. Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur inilah santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.
Diceritakan dalam sejarah, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu yang mengajak berdebat dengan Sunan Bonang, bahkan kemudian pendeta Hindu itupun mengakui kekalahannya, akhirnya bertobat serta menyatakan diri masuk Islam.
Pada masa hidupnya dikatakan, bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar di Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan Bangsawan dari Keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para Wali, serta pusat Kerajaan Islam. Raden Ibrahim Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.
Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.
Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.
Tentang bangunan ndalem/pesarean Kanjeng Sunan Bonang ada yang berpendapat:
a. Dibangun oleh Saudagar dari Juwana.
b. Bekas rumah kadipaten Bonang Binangun Ny. Ageng Malaka (kakak Sunan Bonang).
Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.
Ketika R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan. Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
Oleh Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari, akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut.
R. Ibrahim mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama Chidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.
Empat hari kemudian Nabi Chidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R. Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning, beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada Allah SWT).
Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.
R. Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur inilah santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.
Diceritakan dalam sejarah, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu yang mengajak berdebat dengan Sunan Bonang, bahkan kemudian pendeta Hindu itupun mengakui kekalahannya, akhirnya bertobat serta menyatakan diri masuk Islam.
Pada masa hidupnya dikatakan, bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar di Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan Bangsawan dari Keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para Wali, serta pusat Kerajaan Islam. Raden Ibrahim Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.
Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.
Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.
Tentang bangunan ndalem/pesarean Kanjeng Sunan Bonang ada yang berpendapat:
a. Dibangun oleh Saudagar dari Juwana.
b. Bekas rumah kadipaten Bonang Binangun Ny. Ageng Malaka (kakak Sunan Bonang).
Disamping peninggalan Sunan Bonang, ada juga Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Banyak ulama-ulama karismatik yg wafat di kota yg terkenal dgn suhu udara yg panas ini. Sebut saja Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro, KH. Baidhowi, KH. Khalil, KH. Maksum, KH. Masduki dll. Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini. Pondok Pesantren tersebut antara lain:
Banyaknya Pondok Pesantren berimbas pada
bidang pendidikan umum. Tercatat banyak Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas di
kota ini. Sekolah-sekolah itu antara lain:
Sekolah-sekolah di Lasem tak kalah saing
dengan sekolah-sekolah yang mendapat perhatian lebih dari pemkab seperti
sekolah-sekolah di Rembang. Prestasi sekolah-sekolah di Lasem pun kerap kali
mengharumkan nama 'Lasem' bahkan sampai ke jenjang Nasional bahkan
Internasional. Selain itu, satu-satunya SMA Negeri di Lasem (SMA N 1 Lasem)
mendapatkan predikat sebagai SMA Budaya dan SMA Pioner Nasionalisme, sekaligus sebagai SMA
Budaya dengan sering ditampilkannya grup Wayang Wong SMA N 1 Lasem pimpinan
Bpk.Karnoto di beberapa even baik di dalam maupun luar kota.
Selain
sekolah dasar dan menengah, di Lasem juga terdapat cabang Universitas
Terbuka (UT)
yang membuka kelas di Gedung Pondok Pesantren Kauman Lasem.
karena
merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat
perkampungan tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem. Yang paling
banyak perumahan tionghoa ada di desa babagan, desa karangturi, desa Soditan.
Dan di ketiga desa itupuan ada klenteng dan Istimewanya, kelenteng-kelenteng
ini memiliki keunikan dan sejarah masing-masing yang sulit dijumpai di daerah
lain di Indonesia.
di Jalan Dasun, Desa Soditan Kec
Lasem, Kab Rembang
diperkirakan dibangun pada abad
ke-16, merupakan kelenteng tertua di Lasem.
Kelenteng ini didirikan diperkirakan pada abad 15 dengan mengalami pemugaran beberapa kali dengan mendatangkan tukang ukir dari Guang Dong (KwiTang) Tiongkok, yang terakhir pada tahun 1868. kelenteng ini disebut kelenteng Mak Co, karena pujaan utama nya adalah Mazu Tian Shang Sheng Mu.
Di kelenteng ini juga terdapat Kio ( Tandu) yang ukirannya amat halus dan indah untuk membawa MakCo Thian Siang Sing Bo pada waktu Jut Bio / kirab keliling di kota Lasem dan bila ada undangan Jut Bio di kota lain.
Kelenteng ini didirikan diperkirakan pada abad 15 dengan mengalami pemugaran beberapa kali dengan mendatangkan tukang ukir dari Guang Dong (KwiTang) Tiongkok, yang terakhir pada tahun 1868. kelenteng ini disebut kelenteng Mak Co, karena pujaan utama nya adalah Mazu Tian Shang Sheng Mu.
Di kelenteng ini juga terdapat Kio ( Tandu) yang ukirannya amat halus dan indah untuk membawa MakCo Thian Siang Sing Bo pada waktu Jut Bio / kirab keliling di kota Lasem dan bila ada undangan Jut Bio di kota lain.
Klenteng Cu
An Kiong memiliki ornamen ukiran kuno dalam bentuk dan warna yang
sangat indah. Ornamen yang menghiasi atap bagian dalam kelenteng
mengandung berbagai kisah dari filosofi Cina, serta melambangkan berbagai
harapan
1. Lambang bunga empat musim
melambangkan harapan akan kedamaian
2. Lambang gajah melambangkan
kebijaksanaan
3. Lambang kijang dan bangau
melambangkan panjang umur
Dewi Laut Thian Siang Seng
Bo sebagai dewi pelindung para perantau dari bahaya di lautan ditempatkan
di altar utama. Karena awalnya, masyarakat Cina Lasem memang kaum
pedagang perantauan yang kemudian menetap di Lasem
Di seberang kelenteng mengalir
Sungai Bagan yang bermuara ke Laut Jawa. Konon, di sungai tersebut ada dermaga
tempat para saudagar dari Tiongkok mendarat menggunakan perahu kecil.
di Jalan Babagan, Desa Babagan,
Kec Lasem, Kab Rembang
Walau bangunannya sederhana,
kelenteng ini merupakan kebanggaan masyarakat Cina Lasem. Kelenteng
ini memang dibangun khusus sebagai penghormatan masyarakat Cina Lasem yang
bersatu dengan masyarakat pribumi dalam melawan penjajahan Belanda tahun
1745-1752. Pemimpin perjuangan tersebut yaitu Mayor Ui Ing Kiat dan Tan
Ko Wi yang memimpin kaum Cina, dan Raden Panji Margono yang
memimpin masyarakat pribumi. Masyarakat memberi penghormatan dengan
cara menempatkan arca mereka di altar khusus dalam kelenteng tersebut.
Sejarah
Terdapat tiga versi alasan pembangunan
Kelenteng Gie Yong Bio.
1. Versi
pertama adalah untuk penghormatan dua pahlawan terkenal dari Dinasti Ming (1368-1644)
yaitu Chen Sikian dan Huang Daozhou. Marga Tan merupakan bahasa Hokkien untuk
Chen (hanzi), sementara Oei adalah bahasa Hokkien untuk Huang.
2. versi kedua, kelenteng Gie Yong Bio dibangun untuk menghormati kegagahberanian
dua orang leluhur etnis Tionghoa di Lasem, yaitu Tan dan Oei. Keduanya
merupakan dua orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem dari Fujian. Menurut versi ketiga yang paling populer, kelenteng
ini dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem yang menghadapi VOC pada tahun 1741-1750, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat,
dan Raden Panji Margono.
3. Dua
versi sebelumnya bisa jadi diangkat untuk menutupi alasan sebenarnya
pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio, karena kelenteng ini dibangun pada tahun
1780, saat Belanda masih menguasai Indonesia. Belanda dapat dipastikan tidak
akan membiarkan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio jika mengetahui alasan
pembangunan yang sebenarnya, karena dikhawatirkan dapat membangkitkan kembali
semangat perlawanan penduduk Lasem.
Pada tahun 1740,
masyarakat Tionghoa di Batavia melakukan pemberontakan
melawan pemerintahan Belanda. Pemberontakan etnis tersebut mempengaruhi hampir
seluruh Pulau Jawa, meskipun akhirnya berhasil
ditekan oleh VOC. Kota Lasem sendiri menjadi basis terakhir pemberontakan.
Pada peristiwa itu, etnis Jawa dan Tionghoa bekerja sama.
Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V yang
menjabat sebagai Adipati Lasem (1714-1727) , mengikat tali persaudaraan dengan
Mayor Oei Ing Kiat, yang menjabat sebagai Adipati Lasem menggantikan ayahnya
dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Keduanya juga mengangkat sumpah
persaudaraan dengan Tan Kee Wie, seorang pengusaha serta ahli kungfu di Lasem..
Pada saat terjadi pengungsian besar-besaran
etnis Tionghoa dari Batavia di tahun 1741, ketiganya
sepakat untuk mengangkat senjata memberontak terhadap VOC. Mereka bergabung
dengan para pejuang Tionghoa lain yang berkumpul di Tanjung Welahan serta
mendapat bantuan pasukan pribumi atas restu Pakubuwana II. Pertempuran merambat dari Juwana hingga Rembang
dan akhirnya sampai ke Semarang. Meskipun pada awalnya berhasil menguasai
sebagian wilayah Semarang, pasukan gabungan Jawa-Tionghoa terdesak mundur
setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bala bantuan. Karena kekalahan
tersebut, Pakubuwana II mengalihkan dukungannya kepada VOC sehingga menyebabkan
istananya di Kartasura diserang dan dikuasai oleh pasukan pemberontak.
Pada tahun 1742, pasukan yang dipimpin
ketiganya kembali menyerang Rembang dan Juwana. Setelah kemenangan di Rembang,
pasukan VOC yang sudah mengadakan persiapan berhasil mengalahkan mereka di
Juwana. Bahkan pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung
Watu dan Pulau Mandalika, armada kapal Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam
sehingga membuatnya gugur bersama pasukan yang ia pimpin. Sisa pasukan
melarikan diri kembali ke Lasem setelah datang bala bantuan VOC dari Tuban.
Pada tahun 1950, Raden Panji Margono, Mayor
Oei Ing Kiat, dan Kyai Ali Badawi kembali mengobarkan peperangan dengan
Belanda. Namun, pertempuran kali ini juga berhasil dimenangkan oleh Belanda.
Panji Margono gugur di Karangpace Narukan sementara Oei Ing Kiat gugur di
Layur, Lasem-Utara. Untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanan Tan Kee Wie, Panji
Margono, dan Oei Ing Kiat, masyarakat Tionghoa di Lasem membangun klenteng Gie
Yong Bio sebagai monumen peringatan. Ketiganya dihormati sebagaiKongco dan dibuat rupangnya untuk diletakkan di atas
altar. Rupang Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie diletakkan berdampingan dan disebut
dengan nama Tan Oei Ji Sian Seng(menurut
dialek Hokkien), sementara rupang Raden Panji Margono diletakkan pada
altar khusus yang terpisah.
Jl. Karangturi VII/15, Desa
Karangturu, Kec. Lasem Kab. Rembang
Kelenteng ini berdiri diperkirakan pada tahun
1740, di dalam Kelenteng terdapat gambar-gambar yang dilukis dengan dengan mo
pit memakai tinta bak warna hitam. Lukisan tersebut menceritakan kisah Tiga
Negara yang terkenal dengan nama Sam Kok, yang tokohnya bernama Liu Bei, Kwan
Kong dan Zhang Fe.
Di
altar utama adalah kongco Kong Tik Cun Ong atau Kwee Sing Ong.
ketika masyarakat Cina Lasem
meningkat pesat karena datangnya pengungsi Cina dari Batavia. Akibatnya
permukiman Cina meluas hingga ke daerah selatan, ke daerah Karangturi.
Meningkatnya komunitas Cina Lasem
yang sebagian berasal dari daerah Quanzhou, provinsiFucien atau Hokkian,
membuat mereka perlu membangun sebuah kelenteng untuk memuja dewa pelindung
mereka, Kong Tik Cun Ong atau Guang Ze Zun Wang. Arca
Dewa Kong Tik Cun Ong sering dibawa oleh para pedagang Cina dalam bagasi
perahunya sebagai dewa pelindung para perantauan. Kelenteng di Desa
Karangturi ini kemudian diberi nama Poo An Bio atau Bao An Miao, sesuai gelar
sang dewa, yaitu Bao An Zun Wang atau Raja Terhormat Pelindung
Ketentraman. Lukisan cerita klasik Cina menghiasi sekeliling tembok
dalam kelenteng. Cerita 24 anak berbakti dan cerita Sam Kok terlukis
di tembok bagian kiri dan kanan kelenteng.
Ketiga
kelenteng di Lasem tergabung dalam Yayasan Trimurti, yang mengadakan berbagai
acara ritual. Misalnya, untuk memperingati ulang tahun dewa-dewi kelenteng
Lasem, mereka mengadakan ritual Gotong Tepekong. Ritual ini dilaksanakan
dengan menaikkan arca dewa-dewi ke atas tandu, lalu diarak keliling
kota. Tujuannya, agar para dewa-dewi tersebut memberkahi penduduk dengan
rezeki dan juga menolak bala, demi keselamatan dan kesehatan penduduk di daerah
tersebut.
Upacara
ritual lainnya adalah Sedekah Laut. Ritual ini dilaksanakan dengan
menaikkan dewi laut Thian Shang Sheng Mu ke perahu nelayan dan
kemudian mengarak keliling Pantai Laut Lasem. Ritual ini
dilaksanakan agar dewi laut memberkati keselamatan para nelayan dan penduduk
Pantai Lasem agar terhindar dari bahaya laut, khususnya bencana tsunami.
Selain klenteng dilasem juga ada bangunan tua
yaitu Vihara Ratanavana Arama
VIHARA RATANAVANA ARAMA
Vihara Ratanavana Arama terletak di desa Sendangcoyo,
kecamatan Lasem, kabupaten Rembang, Jawa tengah Vihara Ratanavana Arama
berada di daerah perbukitan dengan jumlah penduduk yang tergolong
sedikit. Dipilihnya Lasem sebagai tempat di bangunnya vihara karena Lasem
merupakan salah satu titik perkembangan Agama Buddha di Indonesia sejak zaman
Majapahit. Vihara yang di bangun oleh Banthe Sudhammo di atas tanah seluas 6
hektar ini memiliki berbagai macam rangkaian patung sang Buddha Sidharta
Gautama dari lahir hingga Meninggal.
Didalam Vihara juga banyak terdapat bangunan-bangunan juga situs .
Bangunan untuk sembahyang, bangunan berupa joglo besar dengan tiang-tiang besar dari kayu jati . Sebagai tempat peribadahan bagi umat Budha
Ada 5 macam situs di Vihara Vihara Ratanavana Arama
1. Situs pertama merupakan awal mula Sidharta Gautama di lahirkan oleh Dewi Mahamaya. Di situs tersebut terdapat sebuah taman yang asri lengkap dengan patung Sidharta Gautama beserta ibunya,gajah putih, ular naga raksasa sepanjang 25 meter dan tujuh bunga teratai.
2. situs kedua, pada situs kedua ini bercerita tentang Sidharta Gautama yang bersemedi selama 6 tahun di hutan Uruvela India. Terdapat patung Sidharta Gautama setinggi 3 meter sedang duduk di bawah pohon beringin dengan badan terlihat kurus kering
3. Situs ketiga bercerita tentang Sidharta Gautama sudah menemukan tujuh langkah mencapai kesempurnaan hidup. Terdapat patung Sidharta berdiri di atas bunga teratai dengan tangan kanan di angkat setinggi dada dan telapak tangan menghadap ke depan. Terdapat pula beberapa pahatan tulisan tentang ajaran utama Sidharta Gautama
4. situs ke empat bercerita tentang Sidharta Gautama telah menjadi Buddha Gautama. Terdapat patung sang Buddha sedang duduk di atas bunga teratai dan sedang menyampaikan ajarannya kepada beberapa muridnya di Taman Rusa Isipatana India serta terdapat beberapa patung rusa
5. situs lima bercerita tentang sang budha telah meninggal dunia dengan sempurna . Terdapat patung Buddha tidur sepanjang 14 meter dengan posisi tidur miring kekanan dan tangan kanan di lipat ke depan wajahnya dan menghadap ke selatan. Patung budha tidur ini merupakan salah satu patung budha tidur terbesar di Indonesia
Lasem Kota Heritage ( Pusaka )
Lasem yang terhimpit gunung dan
laut menjadikan Lasem sebagai Kota pusaka
banyak ditemukannya situs pusaka (heritage site) dan budaya khas yang sejak dulu melekat pada kota Lasem. Pusaka (Heritage/Warisan/Sesuatu yang berharga dan harus dijaga)
Heritage Pusaka Lasem di bagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Pusaka Alam (Natural Heritage),
2. Pusaka Budaya (Cultural Heritage)
3. Pusaka Budaya (Cultural Heritage)
Ketiga Pusaka tersebut juga memiliki potensi dan dari ketiganya saling berhubungan.
1. Potensi Pusaka Alam: Hamparan Pantai di Lasem, Pegunungan Lasem, Hutan di Lasem, dll.
2. Potensi Pusaka Budaya: Seni Laesan, Seni Kuda Lumping, Seni Barongsai dan Liong, Seni
Wayang, Seni Wayang Wong, Seni Tari, Kehidupan Masyarakat Lasem, Batik Lasem, Tambak Garam, Industri Terasi dan Ikan Asin, Peninggalan hasil kebudayaan, dll.
3. Potensi Pusaka Saujana: Hamparan Tambak Garam dengan Background Pegunungan Lasem
saat kita ke Lasem arah dari Rembang, Hamparan Kapal di Pelabungan Binangun dengan
Background Laut/Pantai Lasem saat kita ke Lasem arah dari Tuban, hamparan Perkampungan
di Pedesaan dengan Background kota Lasem dan Perbukitan Barat Pegunungan Lasem saat kita
di perkampungan Pegunungan Lasem, dll.
VIHARA RATANAVANA ARAMA
Didalam Vihara juga banyak terdapat bangunan-bangunan juga situs .
Bangunan untuk sembahyang, bangunan berupa joglo besar dengan tiang-tiang besar dari kayu jati . Sebagai tempat peribadahan bagi umat Budha
Ada 5 macam situs di Vihara Vihara Ratanavana Arama
1. Situs pertama merupakan awal mula Sidharta Gautama di lahirkan oleh Dewi Mahamaya. Di situs tersebut terdapat sebuah taman yang asri lengkap dengan patung Sidharta Gautama beserta ibunya,gajah putih, ular naga raksasa sepanjang 25 meter dan tujuh bunga teratai.
2. situs kedua, pada situs kedua ini bercerita tentang Sidharta Gautama yang bersemedi selama 6 tahun di hutan Uruvela India. Terdapat patung Sidharta Gautama setinggi 3 meter sedang duduk di bawah pohon beringin dengan badan terlihat kurus kering
3. Situs ketiga bercerita tentang Sidharta Gautama sudah menemukan tujuh langkah mencapai kesempurnaan hidup. Terdapat patung Sidharta berdiri di atas bunga teratai dengan tangan kanan di angkat setinggi dada dan telapak tangan menghadap ke depan. Terdapat pula beberapa pahatan tulisan tentang ajaran utama Sidharta Gautama
4. situs ke empat bercerita tentang Sidharta Gautama telah menjadi Buddha Gautama. Terdapat patung sang Buddha sedang duduk di atas bunga teratai dan sedang menyampaikan ajarannya kepada beberapa muridnya di Taman Rusa Isipatana India serta terdapat beberapa patung rusa
5. situs lima bercerita tentang sang budha telah meninggal dunia dengan sempurna . Terdapat patung Buddha tidur sepanjang 14 meter dengan posisi tidur miring kekanan dan tangan kanan di lipat ke depan wajahnya dan menghadap ke selatan. Patung budha tidur ini merupakan salah satu patung budha tidur terbesar di Indonesia
Lasem Kota Heritage ( Pusaka )
banyak ditemukannya situs pusaka (heritage site) dan budaya khas yang sejak dulu melekat pada kota Lasem. Pusaka (Heritage/Warisan/Sesuatu yang berharga dan harus dijaga)
Heritage Pusaka Lasem di bagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Pusaka Alam (Natural Heritage),
2. Pusaka Budaya (Cultural Heritage)
3. Pusaka Budaya (Cultural Heritage)
Ketiga Pusaka tersebut juga memiliki potensi dan dari ketiganya saling berhubungan.
1. Potensi Pusaka Alam: Hamparan Pantai di Lasem, Pegunungan Lasem, Hutan di Lasem, dll.
2. Potensi Pusaka Budaya: Seni Laesan, Seni Kuda Lumping, Seni Barongsai dan Liong, Seni
Wayang, Seni Wayang Wong, Seni Tari, Kehidupan Masyarakat Lasem, Batik Lasem, Tambak Garam, Industri Terasi dan Ikan Asin, Peninggalan hasil kebudayaan, dll.
3. Potensi Pusaka Saujana: Hamparan Tambak Garam dengan Background Pegunungan Lasem
saat kita ke Lasem arah dari Rembang, Hamparan Kapal di Pelabungan Binangun dengan
Background Laut/Pantai Lasem saat kita ke Lasem arah dari Tuban, hamparan Perkampungan
di Pedesaan dengan Background kota Lasem dan Perbukitan Barat Pegunungan Lasem saat kita
di perkampungan Pegunungan Lasem, dll.
Itulah secuil kata tentang lasem dan mestinya didalamnya
masih banyak lagi yang saya tulis
pingin membaca tentang sejarah batik tulis lasem
http://nyejinlasem.blogspot.com
pingin membaca tentang sejarah batik tulis lasem
http://nyejinlasem.blogspot.com
Subscribe to:
Posts (Atom)