MAU TAU BITCOIN

Friday 4 December 2015

LASEM

LASEM












NAMA LASEM
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam.

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang


                                 Lasem Kota paling Unik di Seluruh indonesia


Kenapa Lasem di sebut kota paling unik di indonesia ?.................... = karena lasem adalah sebuah kecamatan yang tidak mempunyai nama yang sama di desanya, dilasem tidak ada desa Lasem ... itulah yang di sebut Kota paling unik ,


Lasem hanya berbentuk Kecamatan. Kantor Kecamatan terletak di Jalan Sunan Bonang Km.01 atau Jalan Lasem-Tuban. Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa yang terbagi ke dalam 84 Rukun Warga (RW) dan 219 Rukun Tetangga (RT), dengan ibukota kecamatan (gedung kecamatan) terletak di desa Soditan.
Adapun desa-desa tersebut adalah:
  1. Babagan
  2. Binangun
  3. Bonang
  4. Dasun
  5. Dorokandang
  6. Gedongmulyo
  7. Gowak
  8. Jolotundo
  9. Kajar
  10. Karangturi
  11. Karasgede
  12. Ngargomulyo
  13. Ngemplak
  14. Selopuro
  15. Sendangsari
  16. Sendangcoyo
  17. Soditan
  18. Sriombo
  19. Sumbergirang
  20. Tasiksono




Lasem Di Kenal Sebagai Kota Santri,

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri. Dari peninggalan Makam Sunan Bonang, Pasujudan, Masjid Bonang.                                                                                             

SEKILAS CERITA TENTANG SUNAN BONANG










NAMA LENGKAP SUNAN BONANG ADALAH RADEN MAULANA MAKDUM IBRAHIM SUNAN BONANG.

Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.

Ketika R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan. Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.

Oleh Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari, akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut.

R. Ibrahim mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama Chidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.

Empat hari kemudian Nabi Chidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R. Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning, beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada Allah SWT).

Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.

R. Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur inilah santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.

Diceritakan dalam sejarah, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu yang mengajak berdebat dengan Sunan Bonang, bahkan kemudian pendeta Hindu itupun mengakui kekalahannya, akhirnya bertobat serta menyatakan diri masuk Islam.

Pada masa hidupnya dikatakan, bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar di Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan Bangsawan dari 
Keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para Wali, serta pusat Kerajaan Islam. Raden Ibrahim Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.


Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.

Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.

Tentang bangunan ndalem/pesarean Kanjeng Sunan Bonang ada yang berpendapat:
a. Dibangun oleh Saudagar dari Juwana.
b. Bekas rumah kadipaten Bonang Binangun Ny. Ageng Malaka (kakak Sunan Bonang).


Disamping peninggalan Sunan Bonang, ada juga Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Banyak ulama-ulama karismatik yg wafat di kota yg terkenal dgn suhu udara yg panas ini. Sebut saja Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro, KH. Baidhowi, KH. Khalil, KH. Maksum, KH. Masduki dll. Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini. Pondok Pesantren tersebut antara lain:



1.      Al Wahdah (Sumbergirang)
2.      Al Hidayah (Soditan)
3.      Al Hidayah Putri (Soditan)
4.      At Taslim (Soditan)
5.      Al Islah (Soditan)
6.      Al Mashudi (Soditan)
7.      Al Hamidiyyah (Soditan)
8.      Al Fakriyyah (Sumbergirang)
9.      Ash Sholatiyah (Sumbergirang)
10.  Nailun Najah (Sumbergirang)
11.  An Nur (Soditan)
12.  Kauman (Karangturi)
13.  Al Hadi (Sumbergirang)
14.  Al Muyassar (Sumbergirang)
15.  Al Fatah (Ngemplak)
16.  Al Banat (Ngemplak)
17.  Al Aziz (Ngemplak)
18.  Raudlatut Thulab (Ngemplak)
19.  Pondok Caruban (Gedongmulyo)

Lasem Di Kenal Sebagai Kota Pelajar,





Banyaknya Pondok Pesantren berimbas pada bidang pendidikan umum. Tercatat banyak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di kota ini. Sekolah-sekolah itu antara lain:

1.      SMA Negeri Lasem website, di Desa Ngemplak
2.      MA Negeri Lasem, di Desa Ngemplak
3.      SMA Muhammadiyah, di Desa Soditan
4.      MA Nahdlatul Ulama, di Desa Soditan
5.      SMK Nahdlatul Ulama, di Desa Soditan
6.      SMK Muhammadiyah, di Desa Soditan
7.      SMK Avicena, di Desa Ngemplak
8.      SMK Cendekia, di Desa Sriombo
9.      MAAl Hidayah, di Desa Soditan
10.  SMP Negeri 1 Lasem website, di Desa Gedongmulyo
11.  SMP Negeri 2 Lasem , di Desa Sendangasri
12.  SMP Negeri 3 Lasem, di Desa Babagan
13.  MTs Negeri Lasem, di Desa Soditan
14.  MTs Sunan Bonang, di Desa Bonang
15.  MTs An-Nuriyah, di Desa Soditan
16.  SMP Muhammadiyah, di Desa Soditan
17.  SMP Nahdlatul Ulama, di Desa Soditan
18.  SMP Katholik Hamong Putra, di Desa Gedongmulyo
19.  SMP Kristen Dorkas, di Desa Babagan.

Sekolah-sekolah di Lasem tak kalah saing dengan sekolah-sekolah yang mendapat perhatian lebih dari pemkab seperti sekolah-sekolah di Rembang. Prestasi sekolah-sekolah di Lasem pun kerap kali mengharumkan nama 'Lasem' bahkan sampai ke jenjang Nasional bahkan Internasional. Selain itu, satu-satunya SMA Negeri di Lasem (SMA N 1 Lasem) mendapatkan predikat sebagai SMA Budaya dan SMA Pioner Nasionalisme, sekaligus sebagai SMA Budaya dengan sering ditampilkannya grup Wayang Wong SMA N 1 Lasem pimpinan Bpk.Karnoto di beberapa even baik di dalam maupun luar kota.
Selain sekolah dasar dan menengah, di Lasem juga terdapat cabang Universitas Terbuka (UT) yang membuka kelas di Gedung Pondok Pesantren Kauman Lasem.

Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil"



karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem. Yang paling banyak perumahan tionghoa ada di desa babagan, desa karangturi, desa Soditan. Dan di ketiga desa itupuan ada klenteng dan Istimewanya, kelenteng-kelenteng ini memiliki keunikan dan sejarah masing-masing yang sulit dijumpai di daerah lain di Indonesia.

1.      Kelenteng Cu An Kiong 









Kio ( Tandu) Mak Co


di Jalan Dasun, Desa Soditan Kec Lasem, Kab Rembang 
diperkirakan dibangun pada abad ke-16, merupakan kelenteng tertua di Lasem.
Kelenteng ini didirikan diperkirakan pada abad 15 dengan mengalami pemugaran beberapa kali dengan mendatangkan tukang ukir dari Guang Dong (KwiTang) Tiongkok, yang terakhir pada tahun 1868. kelenteng ini disebut kelenteng Mak Co, karena pujaan utama nya adalah Mazu Tian Shang Sheng Mu.

Di kelenteng ini juga terdapat Kio ( Tandu) yang ukirannya amat halus dan indah untuk membawa MakCo Thian Siang Sing Bo pada waktu Jut Bio / kirab keliling di kota Lasem dan bila ada undangan Jut Bio di kota lain. 

Klenteng  Cu An Kiong memiliki ornamen ukiran kuno dalam bentuk dan warna yang sangat indah.  Ornamen yang menghiasi atap bagian dalam kelenteng mengandung berbagai kisah dari filosofi Cina, serta melambangkan berbagai harapan
1. Lambang bunga empat musim melambangkan harapan akan kedamaian
2. Lambang gajah melambangkan kebijaksanaan
3. Lambang kijang dan bangau melambangkan panjang umur


Dewi Laut Thian Siang Seng Bo sebagai dewi pelindung para perantau dari bahaya di lautan ditempatkan di altar utama.  Karena awalnya, masyarakat Cina Lasem memang kaum pedagang perantauan yang kemudian menetap di Lasem


Di seberang kelenteng mengalir Sungai Bagan yang bermuara ke Laut Jawa. Konon, di sungai tersebut ada dermaga tempat para saudagar dari Tiongkok mendarat menggunakan perahu kecil.

2.      kelenteng Gi Yong Bio 

Kimsin (patung) Raden Panji Margono di altar klenteng Gie Yong Bio

di Jalan Babagan, Desa Babagan, Kec Lasem, Kab Rembang 
Walau bangunannya sederhana, kelenteng ini merupakan kebanggaan masyarakat Cina Lasem.  Kelenteng ini memang dibangun khusus sebagai penghormatan masyarakat Cina Lasem yang bersatu dengan masyarakat pribumi dalam melawan penjajahan Belanda tahun 1745-1752.  Pemimpin perjuangan tersebut yaitu Mayor Ui Ing Kiat dan Tan Ko Wi yang memimpin kaum Cina, dan Raden Panji Margono yang memimpin masyarakat pribumi.  Masyarakat memberi penghormatan dengan cara menempatkan arca mereka di altar khusus dalam kelenteng tersebut.


Sejarah
Terdapat tiga versi alasan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio. 
1. Versi pertama adalah untuk penghormatan dua pahlawan terkenal dari Dinasti Ming (1368-1644) yaitu Chen Sikian dan Huang Daozhou. Marga Tan merupakan bahasa Hokkien untuk Chen (hanzi), sementara Oei adalah bahasa Hokkien untuk Huang.

2.  versi kedua, kelenteng Gie Yong Bio dibangun untuk menghormati kegagahberanian dua orang leluhur etnis Tionghoa di Lasem, yaitu Tan dan Oei. Keduanya merupakan dua orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem dari Fujian. Menurut versi ketiga yang paling populer, kelenteng ini dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem yang menghadapi VOC pada tahun 1741-1750, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.


3. Dua versi sebelumnya bisa jadi diangkat untuk menutupi alasan sebenarnya pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio, karena kelenteng ini dibangun pada tahun 1780, saat Belanda masih menguasai Indonesia. Belanda dapat dipastikan tidak akan membiarkan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio jika mengetahui alasan pembangunan yang sebenarnya, karena dikhawatirkan dapat membangkitkan kembali semangat perlawanan penduduk Lasem.

         Pada tahun 1740, masyarakat Tionghoa di Batavia melakukan pemberontakan melawan pemerintahan Belanda. Pemberontakan etnis tersebut mempengaruhi hampir seluruh Pulau Jawa, meskipun akhirnya berhasil ditekan oleh VOC. Kota Lasem sendiri menjadi basis terakhir pemberontakan. Pada peristiwa itu, etnis Jawa dan Tionghoa bekerja sama.

         Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V yang menjabat sebagai Adipati Lasem (1714-1727) , mengikat tali persaudaraan dengan Mayor Oei Ing Kiat, yang menjabat sebagai Adipati Lasem menggantikan ayahnya dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Keduanya juga mengangkat sumpah persaudaraan dengan Tan Kee Wie, seorang pengusaha serta ahli kungfu di Lasem..
Pada saat terjadi pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa dari Batavia di tahun 1741, ketiganya sepakat untuk mengangkat senjata memberontak terhadap VOC. Mereka bergabung dengan para pejuang Tionghoa lain yang berkumpul di Tanjung Welahan serta mendapat bantuan pasukan pribumi atas restu Pakubuwana II. Pertempuran merambat dari Juwana hingga Rembang dan akhirnya sampai ke Semarang. Meskipun pada awalnya berhasil menguasai sebagian wilayah Semarang, pasukan gabungan Jawa-Tionghoa terdesak mundur setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bala bantuan. Karena kekalahan tersebut, Pakubuwana II mengalihkan dukungannya kepada VOC sehingga menyebabkan istananya di Kartasura diserang dan dikuasai oleh pasukan pemberontak.

         Pada tahun 1742, pasukan yang dipimpin ketiganya kembali menyerang Rembang dan Juwana. Setelah kemenangan di Rembang, pasukan VOC yang sudah mengadakan persiapan berhasil mengalahkan mereka di Juwana. Bahkan pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika, armada kapal Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam sehingga membuatnya gugur bersama pasukan yang ia pimpin. Sisa pasukan melarikan diri kembali ke Lasem setelah datang bala bantuan VOC dari Tuban.

         Pada tahun 1950, Raden Panji Margono, Mayor Oei Ing Kiat, dan Kyai Ali Badawi kembali mengobarkan peperangan dengan Belanda. Namun, pertempuran kali ini juga berhasil dimenangkan oleh Belanda. Panji Margono gugur di Karangpace Narukan sementara Oei Ing Kiat gugur di Layur, Lasem-Utara. Untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanan Tan Kee Wie, Panji Margono, dan Oei Ing Kiat, masyarakat Tionghoa di Lasem membangun klenteng Gie Yong Bio sebagai monumen peringatan. Ketiganya dihormati sebagaiKongco dan dibuat rupangnya untuk diletakkan di atas altar. Rupang Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie diletakkan berdampingan dan disebut dengan nama Tan Oei Ji Sian Seng(menurut dialek Hokkien), sementara rupang Raden Panji Margono diletakkan pada altar khusus yang terpisah.


3.      kelenteng  Poo An Bio.




Jl. Karangturi VII/15, Desa Karangturu, Kec. Lasem Kab. Rembang
Kelenteng ini berdiri diperkirakan pada tahun 1740, di dalam Kelenteng terdapat gambar-gambar yang dilukis dengan dengan mo pit memakai tinta bak warna hitam. Lukisan tersebut menceritakan kisah Tiga Negara yang terkenal dengan nama Sam Kok, yang tokohnya bernama Liu Bei, Kwan Kong dan Zhang Fe.
Di altar utama adalah kongco Kong Tik Cun Ong atau Kwee Sing Ong.

ketika masyarakat Cina Lasem meningkat pesat karena datangnya pengungsi Cina dari Batavia.  Akibatnya permukiman Cina meluas hingga ke daerah selatan, ke daerah Karangturi.

Meningkatnya komunitas Cina Lasem yang sebagian berasal dari daerah Quanzhou, provinsiFucien atau Hokkian, membuat mereka perlu membangun sebuah kelenteng untuk memuja dewa pelindung mereka, Kong Tik Cun Ong atau Guang Ze Zun Wang.  Arca Dewa Kong Tik Cun Ong sering dibawa oleh para pedagang Cina dalam bagasi perahunya sebagai dewa pelindung para perantauan.  Kelenteng di Desa Karangturi ini kemudian diberi nama Poo An Bio atau Bao An Miao, sesuai gelar sang dewa, yaitu Bao An Zun Wang atau Raja Terhormat Pelindung Ketentraman.  Lukisan cerita klasik Cina menghiasi sekeliling tembok dalam kelenteng.  Cerita 24 anak berbakti dan cerita Sam Kok terlukis di tembok bagian kiri dan kanan kelenteng.

Ketiga kelenteng di Lasem tergabung dalam Yayasan Trimurti, yang mengadakan berbagai acara ritual. Misalnya, untuk memperingati ulang tahun dewa-dewi kelenteng Lasem, mereka mengadakan ritual Gotong Tepekong.  Ritual ini dilaksanakan dengan menaikkan arca dewa-dewi ke atas tandu, lalu diarak keliling kota. Tujuannya, agar para dewa-dewi tersebut memberkahi penduduk dengan rezeki dan juga menolak bala, demi keselamatan dan kesehatan penduduk di daerah tersebut.

Upacara ritual lainnya adalah Sedekah Laut.  Ritual ini dilaksanakan dengan menaikkan dewi laut Thian Shang Sheng Mu ke perahu nelayan dan kemudian mengarak keliling Pantai Laut Lasem.  Ritual ini dilaksanakan agar dewi laut memberkati keselamatan para nelayan dan penduduk Pantai Lasem agar terhindar dari bahaya laut, khususnya bencana tsunami.

Selain klenteng dilasem juga ada bangunan tua yaitu Vihara Ratanavana Arama

VIHARA RATANAVANA ARAMA


















Vihara Ratanavana Arama terletak di desa Sendangcoyo, kecamatan Lasem, kabupaten Rembang, Jawa tengah Vihara Ratanavana Arama  berada di daerah perbukitan dengan jumlah penduduk yang tergolong sedikit. Dipilihnya Lasem sebagai tempat di bangunnya vihara karena Lasem merupakan salah satu titik perkembangan Agama Buddha di Indonesia sejak zaman Majapahit. Vihara yang di bangun oleh Banthe Sudhammo di atas tanah seluas 6 hektar ini memiliki berbagai macam rangkaian  patung sang Buddha Sidharta Gautama dari lahir hingga Meninggal.

Didalam Vihara juga banyak terdapat bangunan-bangunan juga situs .

Bangunan untuk sembahyang, bangunan berupa joglo besar dengan tiang-tiang besar dari kayu jati . Sebagai tempat peribadahan bagi umat Budha
Ada 5 macam situs di Vihara Vihara Ratanavana Arama  
1.      Situs pertama merupakan awal mula Sidharta Gautama di lahirkan oleh Dewi Mahamaya. Di situs tersebut terdapat sebuah taman yang asri lengkap dengan patung  Sidharta Gautama beserta ibunya,gajah putih, ular naga raksasa sepanjang 25 meter dan tujuh bunga teratai.
2.      situs kedua, pada situs kedua ini bercerita tentang Sidharta Gautama yang bersemedi selama 6 tahun di hutan Uruvela India. Terdapat patung Sidharta Gautama setinggi 3 meter sedang duduk di bawah pohon beringin dengan badan terlihat kurus kering
3.      Situs ketiga bercerita tentang Sidharta Gautama sudah menemukan tujuh langkah mencapai kesempurnaan hidup. Terdapat patung Sidharta berdiri di atas bunga teratai dengan tangan kanan di angkat setinggi dada dan telapak tangan menghadap ke depan. Terdapat pula beberapa pahatan tulisan tentang ajaran utama Sidharta Gautama
4.      situs ke empat bercerita tentang Sidharta Gautama telah menjadi Buddha Gautama. Terdapat patung sang Buddha sedang duduk di atas bunga teratai dan sedang menyampaikan ajarannya kepada beberapa muridnya di Taman Rusa Isipatana India serta terdapat beberapa patung rusa
5.      situs lima bercerita tentang sang budha telah meninggal dunia dengan sempurna . Terdapat patung Buddha tidur sepanjang 14 meter  dengan posisi tidur miring kekanan dan tangan kanan di lipat ke depan wajahnya dan menghadap ke selatan. Patung budha tidur ini merupakan salah satu patung budha tidur terbesar di Indonesia

Lasem Kota Heritage ( Pusaka )



















Lasem yang terhimpit gunung dan laut menjadikan Lasem sebagai Kota pusaka
banyak ditemukannya situs pusaka (heritage site) dan budaya khas yang sejak dulu melekat pada kota Lasem. Pusaka (Heritage/Warisan/Sesuatu yang berharga dan harus dijaga)
Heritage Pusaka Lasem di bagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1.      Pusaka Alam (Natural Heritage),
2.      Pusaka Budaya (Cultural Heritage)
3.      Pusaka Budaya (Cultural Heritage)

Ketiga Pusaka tersebut juga memiliki potensi dan dari ketiganya saling berhubungan.

1.      Potensi Pusaka Alam: Hamparan Pantai di Lasem, Pegunungan Lasem, Hutan di Lasem, dll.
2.      Potensi Pusaka Budaya: Seni Laesan, Seni Kuda Lumping, Seni Barongsai dan Liong, Seni
         Wayang, Seni Wayang Wong, Seni Tari, Kehidupan Masyarakat Lasem, Batik Lasem, Tambak           Garam, Industri Terasi dan Ikan Asin, Peninggalan hasil kebudayaan, dll.
3.      Potensi Pusaka Saujana: Hamparan Tambak Garam dengan Background Pegunungan Lasem    
         saat kita ke Lasem arah dari Rembang, Hamparan Kapal di Pelabungan Binangun dengan    
         Background Laut/Pantai Lasem saat kita ke Lasem arah dari Tuban, hamparan Perkampungan 
         di Pedesaan dengan Background kota Lasem dan Perbukitan Barat Pegunungan Lasem saat kita 
         di perkampungan Pegunungan Lasem, dll.




Itulah secuil kata tentang lasem dan mestinya didalamnya masih banyak lagi yang saya tulis

pingin membaca tentang sejarah batik tulis lasem 
http://nyejinlasem.blogspot.com